Day 27 KARISMA : Kisah Para Pemimpin Islam Dalam Merayakan Hari Raya
- Kamis, 27 Maret 2025
- TIM MARCOM AT-TAUBAH
- 0 komentar
Selaras dengan Sabda Rosulullah SAW Bahwa Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebagiaan antaranya adalah Bahagia saat ifthor dan Bahagia saat berjumpa dengan sang Pencipta. Dan setelah kita menjalani Ramadan dengan penuh sukacita dan tawa, saatnya merayakan Idul Fitri!
Di sini, bukan hanya soal merayakan, tetapi juga mencari pengampunan dan menjaga tali silaturahmi. Di kampung halaman kita, ada yang mengadakan pawai takbiran dengan mobil, sungkem meminta maaf maafan dan berziarah ke makam leluhur.
Dan itu bukan hanya dimasa kita hari ini saya tentang merayakan hari raya, di masa lalu, pada zaman raja-raja dan penguasa, Idul Fitri adalah momen untuk menunjukkan kekuatan Islam. Mereka keluar dengan pasukan besar dan upacara khusus, menyanyikan lagu-lagu yang mengagumkan orang lain.
Merujuk pada penjelasan Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa hari raya dijadikan sebagai momentum oleh para dinasti dan raja-raja zaman dahulu untuk menampakkan kekuatan Islam. Mereka keluar dari kerajaan dengan ribuan prajurit dan penduduknya disertai dengan lantunan lagu-lagu kebesaran kerajaan, dan dengan cara ini umat Islam bisa disegani oleh pemeluk agama lain.
Tradisi seperti ini terus berlanjut hingga masa kepemimpinan sultan Abdul Hamid. Ia sebagai pemimpin ke-34 dalam kesultanan dinasti Utsmaniyah yang sangat adil, dan lebih memprioritaskan kemaslahatan Islam dan rakyatnya. Salah satunya adalah dengan memperlihatkan bala tentaranya di setiap hari raya sambil membacakan takbir sebagaimana yang biasa dibaca setiap hari raya. Kisah ini sebagaimana diabadikan oleh Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syatiri dalam salah satu kitabnya, ia mengatakan:
وَمُلُوْكُ الْمُسْلِمِيْنَ يُسْتَحَبُّ لَهُمْ اِظْهَارُ الْقُوَةِ وَعِزِّ الْاِسْلَامِ. كَانَ الْمُلُوْكُ السَّابِقُوْنَ يَقُوْمُوْنَ بِاسْتِعْرَاضِ الْجُيُوْشِ، وَأَخِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَبْدُ الْحَمِيْدِ، وَهُوَ أَخِرُ مُلُوْكِ الْمُسْلِمِينَ. اِسْتَمَرَّتْ خِلَافَتُهُ ثَلَاثِينَ سَنَةً، وَكَانَ قَوِيَ الْاِيْمَانِ مُخْلِصًا لِدِيْنِهِ وَرَعِيَّتِهِ
Artinya : “Para pimpinan umat Islam dianjurkan bagi mereka untuk menampakkan kekuatan dan kemuliaan Islam (di hari raya). Para raja terdahulu menampakkan (kekuatannya dan kemuliaan Islam) dengan mempertontonkan bala tentara, dan yang paling akhir (melakukan tradisi ini) adalah Sultan Abdul Hamid, ia merupakan pemimpin terakhir kaum muslimin. Masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Ia merupakan (raja) yang kuat imannya, ikhlas (berjuang) untuk agama dan rakyatnya.” (Habib Ahmad Asy-Syatiri, Syarhu Yaqutun Nafis fi Mazhabi ibn Idris, [Darul Minhaj: 2009], halaman 177).
Selain mempertontonkan bala tentara, raja-raja zaman dahulu juga membawa para pemuda pemberani untuk ikut serta dalam pertontonan ini. Semua berangkat dengan pakaian rapi dan berseragam. Semua pasukan diatur dengan masing-masing kelompok dengan mengikuti barisan masing-masing. Setiap pasukan berkuda berbaris dengan kelompok berkuda lainnya. Pasukan berkendara juga berbaris dengan kelompok berkendara lainnya,
وَمِنْ عَادَاتِهِ فِي يَوْمِ الْعِيْدِ أَن يَخْرُجَ فِي الْحَرسِ، اَلَّذِي يُقَدَّرُ بِثَلَاثِيْنَ أَلْفٍ مِنَ الشَّبَابِ الشَّجعَانِ الْمُوَحِّدِي اللِّبَاسِ، تَتَقَدَّمُهُمُ السَّيَّارَاتُ وَالْعرَبَاتُ، وَيُنْشِدُوْنَ لَهُ السَّلَامَ الْمُلْكِي، وَيَعْتَزُّ كُلُّ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ
Artinya : “Dan termasuk kebiasaannya (Sultan Abdul Hamid) pada hari raya adalah ia keluar bersama pengawal kerajaan, disertai oleh tiga puluh ribu pemuda pemberani yang berseragam pakaiannya. Di depan mereka ada banyak tentara berkendara dan berkuda, mereka menyanyikan lagu-lagu kepadanya (raja) dan ucapan salam khas kerajaan. Dengan kebiasaan tersebut umat Islam menjadi mulia (di sisi pemeluk agama lain).” (Habib Ahmad asy-Syatiri, 177).
Lebih dekat lagi dengan pemipin islam yang ada dinegara kita tercinta Indonesia, teringat dengan masa emas Kerajaan islam diindonesia pada abad ke-17, hidup seorang raja yang cinta islam dan negara serta akrab dengan rakyatnya, yakni seorang raja yang terkenal dengan sebutan Sultan Iskandar Muda dari Aceh Darussalam.
Sebagai salah satu perayaan keagamaan yang terpenting, Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang diselenggarakan dengan istimewa di masa Kesultanan Iskandar Muda. Kitab Adat Aceh menjelaskan dengan perincian sebagai berikut.
Perayaan dimulai dengan kedatangan Penghulu Bilal (ketua Muadzin) ke istana untuk meminta Tongkat Khutbah. Pemimpin iringan musik Keujren Geundrang mulai memukul gendang. Perkenan istana atas tongkat yang diminta, dikabulkan.
Petugas pembawa pedang pusaka menyembah kepada sultan dan memohon untuk membawa pusaka. Saat permintaan dikabulkan petugas itu membawa pusaka dengan diiringi rombongan pembesar istana sesuai dengan tingkat dan kedudukan menuju Balai Pedang.
Saat itulah, datang Qadi Malik al Adil (penghulu utama) menyembah pada sultan dan memintanya untuk berangkat ke masjid Baitul Rahman untuk melakukan Salat Ied. Genderang pun ditabuh kembali seiring sultan berjalan dengan diiringi segenap pengiringnya dan segenap alat perayaan yang ada.
Sultan dan para Tumenggung menggunakan kendaraan gajah. Dalam rombongan itu ikut serta pula rombongan para sufi, para syarif, atau habib, rombongan para imam, para khatib, para qari, para angham, dan diikuti oleh "santri-santri" yang mengucap takbir dan tahmid. Mereka berjalan kaki.
Saat rombongan mendekati masjid penghulu utama maju ke depan dan berdiri di sebelah kanan gerbang utama memberi penghormatan kepada sultan. Sultan memasuki masjid. Genderang pun ditabuh dengan iringan Ragam Siwajan. Sultan kemudian memasuki ruang pribadinya di masjid ditemani penghulu utama dan faqih seri rama faqih. Mereka kemudian memberi salam dengan mengucapkan Assalamu alaikum wa rahmat Allah ya daulat Makuta. (Makuta sebutan bagi sultan).
Terdapat banyak pelajaran yang bisa kita raih dari kisah ini, selain untuk menampakkan kekompakan dan soliditas umat Islam, juga bisa kita lihat bagaimana upaya raja-raja terdahulu dalam mempertahankan persatuan dan soliditas kaum muslimin. Mereka berupaya dengan serius agar umat Islam tetap berada di jalur yang sama, yaitu persatuan.
Hal itu tidak lain selain karena persatuan ajaran yang sangat mulia dalam Islam. Persatuan merupakan ruh kehidupan, dan menjadi pilar kekuatan dalam hidup beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persatuan juga menjadi pokok utama dan asas yang sangat penting untuk mencapai sebuah hasil yang sempurna. Karenanya, harus ada upaya serius dalam membangun persatuan umat Islam.
Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Artinya : “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Inilah sekelumit Sejarah tentang pemimpin Islam terdahulu dalam merayakan hari raya. Semoga bermanfaat dan menjadikan hari raya kita sebagai hari yang berkah, Aamiin.
Wallahua’lam
Artikel Terkait

MABIT Level 6 SDIT At Taubah : Explore Your Self, From Zero to Hero Semester 2 TA. 2024-2025
Minggu, 04 Mei 2025

Penyerahan Buku Antologi Karya Siswa-siswi SDIT At Taubah kepada Ibu Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam di Gebyar Pendidikan
Jum'at, 02 Mei 2025

Hebat, 3 Finalis SDIT At Taubah Raih Prestasi Medali Perunggu Olimpiade Festival Sains Tingkat Nasional 2025 di Kota Bandung
Rabu, 30 April 2025